The Mirror Site

Archive for March, 2011

Aktivitas di Sekolah Hutan

Hari ini langit tampak cerah bersahabat, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu digelayuti mendung. Satu buah karung berisi mangga dan lebih dari 10 tandan pisang diturunkan dari mobil yang mengangkut suplai buah untuk dibawa ke sekolah hutan.  Kemudian salah satu teknisi sekolah hutan, mengambil arco untuk membawa buah ke gudang. Ketika arco diparkir di depan kandang orangutan, serempak orangutan yang berada di dalam kandang menepi ke arah kami berdatangan, tepatnya melihat ke arah buah-buah yang ada di dalam arco yang di parkir tersebut.

Terhitung ada 18 individu orangutan yang saat ini sedang dalam tahap belajar menjadi ‘orangutan’ kembali. Mereka dibagi ke dalam dua level yaitu level 1 adalah untuk mereka yang usianya dibawah 3 tahun, sedangkan level 2 adalah bagi mereka yang berusia 3-5 tahun.  Tidak hanya umur yang menjadi penentu kategori level namun juga kemampuan mereka bertahan alam. Orangután-orangutan yang berada di level 2 biasanya sudah pandai membuat sarang, atau memperbaharui sarang, sementara di level 1 belum.

Ada 4 kemampuan dasar (survival skill) yang dipelajari orangután di sekolah hutan yaitu yang pertama pemanfaatan ketinggian, pada dasarnya orangután adalah satwa arboreal dimana seluruh aktivitas hariannya dihabiskan diatas pohon.  Teknisi harus meneriaki mereka agar orangután mau naik ke atas pohon. Sebut saja Raymond, Dodo, Derek, Febri, dan Robert adalah orangután  yang kerap kali diteriaki oleh teknisi agar mereka mau memanjat pohon.

Poin yang kedua adalah mengenali jenis pakan alami, orangután harus mampu mengenali pakan alaminya di hutan. Orangutan adalah satwa pemakan buah (frugivor), 60% makanan utamanya adalah buah, sedangkan 40% lainnya berupa daun muda, kulit kayu, umbut, kambium, bahkan serangga seperti rayap dan semut. Maka dari itu, pengenalan pakan alami dari teknisi ke orangután mutlak dilakukan di sekolah hutan.  Jika ada pucuk daun atau sarang rayap yang mereka temukan di dalam hutan, maka para teknisi akan mengambilnya dan menunjukkan bagaimana caranya memakan jenis makanan tersebut.  Beberapa orangután seperti Ajeng, Leony, Bungan, dan Long sudah mampu mengenali jenis pakan alami lebih dari 5 jenis setiap harinya.

Kemampuan selanjutnya adalah orangután harus mampu membuat sarang sebagai tempat untuk mereka beristirahat di malam hari. Di alam, orangután akan membuat sarang ketika menjelang malam. Bahkan saat istirahat siang, orangután terkadang juga membuat sarang. Fungsi sarang selain sebagai tempat beristirahat, juga digunakan untuk tempat berlindung ketika hujan atau panas yang amat terik. Orangután biasa membuat sarang pada percabangan pohon yang berjenis kayu keras. Mereka membutuhkan pondasi yang kuat untuk menopang tubuh mereka pada ketinggian tertentu. Beberapa orangután di sekolah hutan sudah pandai membuat sarang yang ketinggiannya berkisar antara 10-15 m, namun belum ada satupun dari mereka yang mampu membuat sarang lengkap dengan tutup (atap). Hal ini juga dikarenakan kapasitas hutan yang masih tergolong hutan sekunder muda, dimana pohon-pohon yang tumbuh tidak terlalu tinggi dan besar.  Leony , Signe, dan Bungan merupakan salah satu contoh orangután yang sangat pandai membuat sarang. Kemampuan mereka dalam membuat sarang patut diacungi jempol. Terkadang sarang yang mereka buat tidak hanya untuk berisitirahat tetapi juga untuk bermain di dalam sarang.

Selanjutnya yaitu orangután harus mampu mengenali predator alaminya. Predator orangután Kalimantan adalah ular, oleh sebabnya orangután harus berada di atas pohon untuk menghindari pemangsaan oleh predatornya. Namun, predator yang lebih utama dan sesungguhnya adalah manusia itu sendiri. Itu sebabnya, orangután di sekolah hutan dibuat takut terhadap manusia. Keterikatan dan interaksi dengan teknisi secara perlahan-lahan dikurangi. Ayu, Koordinator Sekolah Hutan, mengatakan bahwa masih banyak orangután yang sering berinteraksi dengan teknisi contohnya antara lain Raymond, Dodo, Arnold, Hanung, dan Febri.

Selain mengajarkan orangután, ternyata teknisi juga diberikan pembekalan agar mereka bisa mengambil data tentang aktivitas harian orangután. Data tersebut dicatat dalam kertas yang disebut ethogram, atau data perilaku. Di dalam ethogram, terdapat kode-kode khusus yang menunjukkan perilaku orangután. Kode-kode tersebut dibagi-bagi ke dalam kategori seperti memanjat pohon berikut level ketinggian, makan dan jenis yang dimakan, sosialisasi, membuat sarang berikut level ketinggian. Semua perilaku, pergerakan dicatat menggunakan ethogram tersebut dengan interval waktu 2 menit. Tujuan pengamatan ini adalah untuk melihat kemajuan dan kesiapan orangutan setiap harinya. Dari data tersebut akan didapat siapa-siapa saja yang sudah menguasai kemampuan dasar survival tersebut, dan bagaimanakah perkembangannya. Data tersebut juga akan dipakai untuk menentukan  orangutan yang masuk ke dalam kandidat pelepasliaran (releasable).

Besar harapan saya untuk dapat melihat mereka kembali ke alam liar. Saat saya mengunjungi sekolah hutan beberapa waktu lalu,  beberapa dari mereka mendekati dan mencari perhatian saya. Mungkin karena saya orang baru di sekolah hutan, sehingga membuat mereka penasaran dengan apa yang saya bawa dan yang akan saya lakukan.  Setiap kali mata ini bertatapan dengan mata mereka, ada hasrat yang saya baca disitu. Hasrat ingin kembali ke alam bebas, mata mereka berbicara, “Aku ingin hidup”. [shf]

Orangutan makan kulit kayu


Menebang Akasia (Acacia auriculiformis) sebagai tindakan protektif lahan dari kebakaran

Udara lembab mulai terasa ketika kami berjalan menyusuri jalan setapak di hutan. Kelembaban yang tinggi dan kanopi hutan yang rapat itulah ciri khas hutan hujan tropis. Sayangnya, di Samboja, hutannya masih tergolong hutan sekunder muda, sehingga kanopi hutan tidak terlalu rapat.

Pagi itu, kami beranjak dari kantor ke KM 30 untuk inventarisasi tanaman akasia. Mengapa hanya tanaman akasia yang didata? Karena menurut Windi, Koordinator Monitoring Lingkungan, jenis tanaman akasia ini merupakan tanaman yang cukup mengganggu tanaman lain di sekitarnya. Selain itu, hal yang lebih berbahaya lagi adalah tanaman akasia dapat memicu kebakaran lahan menjadi lebih cepat meluas dan membesar.

Kegiatan ini bukan merupakan kegiatan yang rutin dilakukan, hanya sesekali saja. Namun, mengingat sudah begitu banyak pohon akasia yang tumbuh di sekitar lokasi khususnya di KM 30 dan 35, maka hal ini perlu dilakukan untuk kemudian ditebang. Pencatatan dan penebangan pohon akasia merupakan salah satu tindakan preventif terhadap kebakaran lahan, selain itu kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan monitoring lingkungan.

Metode yang dipakai untuk mencatat pohon akasia ini adalah menyusuri jalan setapak, kemudian menarik jalur ke dalam sejauh 3-4 m, dan kemudian mengukur diameter pohon akasia, memperkirakan tinggi pohon tersebut, kemudian dicatat, setelah itu ditandai dengan mengupas batang pohon dengan parang.

Menurut Windi, pohon akasia yang ditebang tidak semua, melainkan hanya yang berdiameter diatas 62 cm. “Biasanya yang lebarnya mencapai angka itu, adalah pohon-pohon yang berpotensi menjadi akselerator kebakaran hutan”, paparnya lebih lanjut.

Kawasan Samboja Lestari yang memiliki luas 1.850 ha ini, dulunya merupakan lahan kritis yang hanya ditumbuhi oleh alang-alang dan sangat mudah sekali terbakar. Kemudian pada tahun 2003, Yayasan BOS mulai melakukan apa yang disebut program rehabilitasi lahan di seluruh kawasan ini. Sekarang, setelah 8 tahun melakukan upaya reforestasi, sudah tercatat lebih dari 700 jenis tanaman yang berhasil ditanam di kawasan Samboja Lestari, dan berhasil melakukan suksesi dengan hutan yang masuk ke dalam kategori hutan sekunder muda. [shf]