The Mirror Site

Latest

Aktivitas di Sekolah Hutan

Hari ini langit tampak cerah bersahabat, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu digelayuti mendung. Satu buah karung berisi mangga dan lebih dari 10 tandan pisang diturunkan dari mobil yang mengangkut suplai buah untuk dibawa ke sekolah hutan.  Kemudian salah satu teknisi sekolah hutan, mengambil arco untuk membawa buah ke gudang. Ketika arco diparkir di depan kandang orangutan, serempak orangutan yang berada di dalam kandang menepi ke arah kami berdatangan, tepatnya melihat ke arah buah-buah yang ada di dalam arco yang di parkir tersebut.

Terhitung ada 18 individu orangutan yang saat ini sedang dalam tahap belajar menjadi ‘orangutan’ kembali. Mereka dibagi ke dalam dua level yaitu level 1 adalah untuk mereka yang usianya dibawah 3 tahun, sedangkan level 2 adalah bagi mereka yang berusia 3-5 tahun.  Tidak hanya umur yang menjadi penentu kategori level namun juga kemampuan mereka bertahan alam. Orangután-orangutan yang berada di level 2 biasanya sudah pandai membuat sarang, atau memperbaharui sarang, sementara di level 1 belum.

Ada 4 kemampuan dasar (survival skill) yang dipelajari orangután di sekolah hutan yaitu yang pertama pemanfaatan ketinggian, pada dasarnya orangután adalah satwa arboreal dimana seluruh aktivitas hariannya dihabiskan diatas pohon.  Teknisi harus meneriaki mereka agar orangután mau naik ke atas pohon. Sebut saja Raymond, Dodo, Derek, Febri, dan Robert adalah orangután  yang kerap kali diteriaki oleh teknisi agar mereka mau memanjat pohon.

Poin yang kedua adalah mengenali jenis pakan alami, orangután harus mampu mengenali pakan alaminya di hutan. Orangutan adalah satwa pemakan buah (frugivor), 60% makanan utamanya adalah buah, sedangkan 40% lainnya berupa daun muda, kulit kayu, umbut, kambium, bahkan serangga seperti rayap dan semut. Maka dari itu, pengenalan pakan alami dari teknisi ke orangután mutlak dilakukan di sekolah hutan.  Jika ada pucuk daun atau sarang rayap yang mereka temukan di dalam hutan, maka para teknisi akan mengambilnya dan menunjukkan bagaimana caranya memakan jenis makanan tersebut.  Beberapa orangután seperti Ajeng, Leony, Bungan, dan Long sudah mampu mengenali jenis pakan alami lebih dari 5 jenis setiap harinya.

Kemampuan selanjutnya adalah orangután harus mampu membuat sarang sebagai tempat untuk mereka beristirahat di malam hari. Di alam, orangután akan membuat sarang ketika menjelang malam. Bahkan saat istirahat siang, orangután terkadang juga membuat sarang. Fungsi sarang selain sebagai tempat beristirahat, juga digunakan untuk tempat berlindung ketika hujan atau panas yang amat terik. Orangután biasa membuat sarang pada percabangan pohon yang berjenis kayu keras. Mereka membutuhkan pondasi yang kuat untuk menopang tubuh mereka pada ketinggian tertentu. Beberapa orangután di sekolah hutan sudah pandai membuat sarang yang ketinggiannya berkisar antara 10-15 m, namun belum ada satupun dari mereka yang mampu membuat sarang lengkap dengan tutup (atap). Hal ini juga dikarenakan kapasitas hutan yang masih tergolong hutan sekunder muda, dimana pohon-pohon yang tumbuh tidak terlalu tinggi dan besar.  Leony , Signe, dan Bungan merupakan salah satu contoh orangután yang sangat pandai membuat sarang. Kemampuan mereka dalam membuat sarang patut diacungi jempol. Terkadang sarang yang mereka buat tidak hanya untuk berisitirahat tetapi juga untuk bermain di dalam sarang.

Selanjutnya yaitu orangután harus mampu mengenali predator alaminya. Predator orangután Kalimantan adalah ular, oleh sebabnya orangután harus berada di atas pohon untuk menghindari pemangsaan oleh predatornya. Namun, predator yang lebih utama dan sesungguhnya adalah manusia itu sendiri. Itu sebabnya, orangután di sekolah hutan dibuat takut terhadap manusia. Keterikatan dan interaksi dengan teknisi secara perlahan-lahan dikurangi. Ayu, Koordinator Sekolah Hutan, mengatakan bahwa masih banyak orangután yang sering berinteraksi dengan teknisi contohnya antara lain Raymond, Dodo, Arnold, Hanung, dan Febri.

Selain mengajarkan orangután, ternyata teknisi juga diberikan pembekalan agar mereka bisa mengambil data tentang aktivitas harian orangután. Data tersebut dicatat dalam kertas yang disebut ethogram, atau data perilaku. Di dalam ethogram, terdapat kode-kode khusus yang menunjukkan perilaku orangután. Kode-kode tersebut dibagi-bagi ke dalam kategori seperti memanjat pohon berikut level ketinggian, makan dan jenis yang dimakan, sosialisasi, membuat sarang berikut level ketinggian. Semua perilaku, pergerakan dicatat menggunakan ethogram tersebut dengan interval waktu 2 menit. Tujuan pengamatan ini adalah untuk melihat kemajuan dan kesiapan orangutan setiap harinya. Dari data tersebut akan didapat siapa-siapa saja yang sudah menguasai kemampuan dasar survival tersebut, dan bagaimanakah perkembangannya. Data tersebut juga akan dipakai untuk menentukan  orangutan yang masuk ke dalam kandidat pelepasliaran (releasable).

Besar harapan saya untuk dapat melihat mereka kembali ke alam liar. Saat saya mengunjungi sekolah hutan beberapa waktu lalu,  beberapa dari mereka mendekati dan mencari perhatian saya. Mungkin karena saya orang baru di sekolah hutan, sehingga membuat mereka penasaran dengan apa yang saya bawa dan yang akan saya lakukan.  Setiap kali mata ini bertatapan dengan mata mereka, ada hasrat yang saya baca disitu. Hasrat ingin kembali ke alam bebas, mata mereka berbicara, “Aku ingin hidup”. [shf]

Orangutan makan kulit kayu

Menebang Akasia (Acacia auriculiformis) sebagai tindakan protektif lahan dari kebakaran

Udara lembab mulai terasa ketika kami berjalan menyusuri jalan setapak di hutan. Kelembaban yang tinggi dan kanopi hutan yang rapat itulah ciri khas hutan hujan tropis. Sayangnya, di Samboja, hutannya masih tergolong hutan sekunder muda, sehingga kanopi hutan tidak terlalu rapat.

Pagi itu, kami beranjak dari kantor ke KM 30 untuk inventarisasi tanaman akasia. Mengapa hanya tanaman akasia yang didata? Karena menurut Windi, Koordinator Monitoring Lingkungan, jenis tanaman akasia ini merupakan tanaman yang cukup mengganggu tanaman lain di sekitarnya. Selain itu, hal yang lebih berbahaya lagi adalah tanaman akasia dapat memicu kebakaran lahan menjadi lebih cepat meluas dan membesar.

Kegiatan ini bukan merupakan kegiatan yang rutin dilakukan, hanya sesekali saja. Namun, mengingat sudah begitu banyak pohon akasia yang tumbuh di sekitar lokasi khususnya di KM 30 dan 35, maka hal ini perlu dilakukan untuk kemudian ditebang. Pencatatan dan penebangan pohon akasia merupakan salah satu tindakan preventif terhadap kebakaran lahan, selain itu kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan monitoring lingkungan.

Metode yang dipakai untuk mencatat pohon akasia ini adalah menyusuri jalan setapak, kemudian menarik jalur ke dalam sejauh 3-4 m, dan kemudian mengukur diameter pohon akasia, memperkirakan tinggi pohon tersebut, kemudian dicatat, setelah itu ditandai dengan mengupas batang pohon dengan parang.

Menurut Windi, pohon akasia yang ditebang tidak semua, melainkan hanya yang berdiameter diatas 62 cm. “Biasanya yang lebarnya mencapai angka itu, adalah pohon-pohon yang berpotensi menjadi akselerator kebakaran hutan”, paparnya lebih lanjut.

Kawasan Samboja Lestari yang memiliki luas 1.850 ha ini, dulunya merupakan lahan kritis yang hanya ditumbuhi oleh alang-alang dan sangat mudah sekali terbakar. Kemudian pada tahun 2003, Yayasan BOS mulai melakukan apa yang disebut program rehabilitasi lahan di seluruh kawasan ini. Sekarang, setelah 8 tahun melakukan upaya reforestasi, sudah tercatat lebih dari 700 jenis tanaman yang berhasil ditanam di kawasan Samboja Lestari, dan berhasil melakukan suksesi dengan hutan yang masuk ke dalam kategori hutan sekunder muda. [shf]

Cerita dari sudut Samboja

Suwardi namanya, lelaki paruh baya ini memulai usahanya sebagai pengrajin tempe. Rumahnya terletak di desa Wonotirto, tak jauh dari kawasan Samboja Lestari. Keberadaan orangutan di pusat reintroduksi Yayasan BOS-Samboja, membuatnya beralih profesi menjadi pembuat susu kedelai.

Pak Suwardi menjadi pengrajin tempe sejak tahun 1990 hingga 2004. Usahanya sempat mengalami kerugian besar-besaran di tahun 2000-an. Menurut cerita Pak Suwardi, ia bahkan sampai harus berutang kesana kemari, hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, dan mempertahankan usaha tempenya yang terseok-seok. Hingga pada akhir tahun 2004, seorang teman yang juga langganan tempe buatannya, mengenalkannya kepada salah satu staf Yayasan BOS (dahulu Wanariset Samboja di KM 38). Disitulah titik balik kehidupan perekonomian keluarga Pak Suwardi berangsur-angsur mulai membaik.

Awalnya Yayasan BOS, hanya meminta pasokan tempe, dan dibayarkan setiap 2 minggu sekali. Selama 1.5 tahun, Pak Suwardi terus menyuplai tempe untuk Yayasan BOS. Sampai pada suatu hari, Pak Suwardi diminta untuk membuat susu kedelai, tanpa pikir panjang, beliau pun menyanggupinya. Awalnya susu kedelai yang dibuat oleh Pak Suwardi hanya 30 liter per harinya. Di Yayasan BOS, susu tersebut diberikan kepada beruang madu. Kemudian pada tahun 2006, gudang buah yang tadinya bertempat di KM 38, berpindah tempat ke KM 35. Koordinator gudang buah saat itu, menyarankan bagaimana jika orangutan yang ada di pusat reintroduksi Yayasan BOS juga diberi minum susu kedelai. Pak Suwardi diminta untuk menyuplai susu kedelai sebanyak 100 liter per 2 hari, suplai ini terus berjalan selama 1.5 tahun. Kemudian seiring dengan bertambahnya orangutan yang masuk ke pusat reintroduksi Yayasan BOS, maka Pak Suwardi diminta untuk memasok lebih banyak lagi.

Saat ini, susu kedelai yang dipasok oleh beliau per 2 harinya adalah 250 liter untuk orangutan dan 50 liter untuk beruang. Menurut keterangannya, dibutuhkan sebanyak 35 kg kedelai untuk membuat susu sebanyak 300 liter tersebut. Pembuatan susu kedelai memakan waktu selama 3 jam. Dari sejak jam 3 dini hari Pak Suwardi memulai kegiatannya membuat susu kedelai, dibantu oleh istri dan keempat anaknya. Susu kedelai tersebut dikemas ke dalam jirigen 20 liter, kemudian beliau mengangkutnya dengan menggunakan motor. Bisakah anda bayangkan, sebanyak 15 jirigen dinaikkan dan diikat sedemikian rupa pada motor yang biasa ia gunakan untuk mengantar susu ke Yayasan BOS. Tidak sekali dua kali, Pak Suwardi jatuh dalam perjalanannya mengantar susu ke lokasi Samboja Lestari. Motornya yang kecil memang tidak kuat menampung beban seberat itu, sesekali Pak Suwardi harus berhenti mengendarai motor, kemudian membetulkan ikatan yang kurang kencang atau lepas.

Namun, berkat kerja kerasnya, saat ini Pak Suwardi sudah menggunakan mobil untuk mengantarkan susu. Sedikit demi sedikit uang hasil penjualan susunya ia kumpulkan, untuk membeli mobil. “Saya bersyukur sekali selama 6 tahun ini bisa bekerjasama dengan Yayasan BOS, saya hanya memasok susu untuk BOS, tidak ke tempat lain lagi, Mba”, ujar pria kelahiran Solo, 47 tahun lalu tersebut. Pak Suwardi sangat berterimakasih kepada Yayasan BOS yang memberinya kepercayaan selama 6 tahun ini. “Alhamdulillah saya bisa menyekolahkan anak saya yang pertama Mba, di Universitas Balikpapan”, tambahnya.

Ia sungguh tak pernah menyangka, kehidupannya yang dulu serba sulit kini berubah 180 derajat. Baginya, Yayasan BOS adalah kehidupannya, ia sukses karena Yayasan BOS. Pak Suwardi hanyalah satu dari segelintir orang yang memiliki peran kecil namun penting bagi kelangsungan program Yayasan BOS. Orang seperti Pak Suwardi, menyokong kegiatan Yayasan BOS, sehingga visi Yayasan BOS dapat tercapai, yaitu terwujudnya kelestarian orangután dan habitatnya bersama peran serta masyarakat. [shf]

Orangutan is finally free! BOSF will release orangutans for the first time in 9 years.

Borneo Orangutan Survival Foundation will soon release rehabilitated orangutans back tothe wild for the first time in 9 years, thanks to the publishing of the Minister of Forestry’s Decree granting permit for management rights of ex-production forest area in East Kalimantan.

Bogor, August 20th, 2010 BOSF’s plan to release rehabilitated orangutans back to their natural habitat will finnaly take place with the issuance of the Minister of Forestry’s Decree Number: SK/464/MENHUT-II/2010 dated August 18th, 2010 on “Granting Rights to Wood Utilisation of Natural Forest Ecosystem Restoration To PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia, on the 86,000 hectares of Production Forest Area in East Kutai and Kutai Kartanegara Regency, East Kalimantan”.

PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia or PT RHOI is a company established by BOSF to restore and manage forest areas to be used as orangutan release sites.

This decree published by the Minister of Forestry for PT RHOI poses a good news for BOSF in their struggle to support The government’s will which proclaimed that every single individuals of rehabilitated orangutans must be put back in the wild before 2015. For the last 8 years, BOSF have not been able to release orangutans back to the wild habitat due to lack of available yet adequate forest to release.

Based on the requirements set by the government via Pemenhut Decree Number 280/Kpts-II/1995, an area is stated as release-worthy when it: has no population (or very small) of wild orangutans found, is big enough (at least to sustain 30 thousand hectares for 250 individuals of orangutans), is a historical range of oranhgutans, located below 750 meters above sea level, contains natural food source for orangutans, and is guaranteed to be preserved as forest in the future, and is save for orangutans with the support of local stake holders.

Currently, BOSF rehabilitates 838 orangutans with 612 individuals are in the Central Kalimantan Orangutan Reintroduction Program at Nyaru Menteng, and another 226 are in the East Kalimantan Orangutan Reintroduction Program at Samboja Lestari.

In a courtesy call to the Ministry of Forestry being held last April, the Board of Trustees and The Board of Directors addressed the plan to release orangutans back to their natural habitat. Minister Zulkifli Hasan then expressed his intentions to support the program and he now proves it by publishing this decree.

“Sekarang kita bisa konsentrasi ke tahap berikut, yaitu persiapan rilis. Masih banyak yang harus kita lakukan. Tapi setidaknya ini awal yang sangat baik buat kita semua,” said E.G. Togu Manurung, CEO and Chairman BOSF about the decree, he also added that this decree helps the foundation in achieving its vision, ‘to establish Bornean orangutan conservation and its habitat with the help of community’s participation’.

“The government has begun by granting us this permit for forest management. Now us, with the help of other stake holders, must move on. We have to release orangutans back to the wild. They have been inside our cages for far too long now,” Prof. Bungaran Saragih, the Chairman of the Board of Trustees also added about the decree.

Apart from the 86.450-hectares restored forest area in East Kutai and Kutai Kartanegara Regency, BOSF through PT RHOI has also proposed for a right to wood utilisation of natural forest ecosystem restoration in the 23,000-hectares located in ex-HPH PT Narkatta Rimba, also in East Kutai and Kutai Kartanegara Regency. It is hoped that the area may sustain all the rehabilitated orangutans from the East Kalimantan Orangutan Reintroduction Program at Samboja Lestari which now responsible for 226 individuals, 22 of them are stated ‘potential release’.

In the Central Kalimantan province, BOSF also plans to release orangutans by coordinating with the forest utilisation rights owner, PT Akhates Plywood in some part of their land which in total reaches 94,000 hectares. It is estimated that in the next 5 years BOSF could at least release 385 individuals of orangutan within that forest area.

Still in Central Kalimantan, BOSF also plans to propose a right to wood utilisation of natural forest ecosystem restoration in the 123,000-hectares area located in ex-HPH PT Tunggal Pamenang, Murung Raya Regency.

Borneo Orangutan Survival Foundation is a non-profit organisation with the commitment of saving and preserving orangutans and their habitat in East Kalimantan and Central Kalimantan. BOSF has fund-raising organisation partners throughout the world, known as BOS Sisters, in countries like Denmark, Sweden, UK, Germany, Switzerland, Luxemburg, the Netherlands, and Australia.

BOSF established 2 orangutan rehabilitation centres, the East Kalimantan Orangutan Reintroduction Program at Samboja Lestari (EKORP-SL) and the Central Kalimantan Orangutan Reintroduction Program at Nyaru Menteng(CKORP-NM). Today, BOSF is exploring possibilities of setting up another one in West Kalimantan.

In Samboja Lestari East Kalimantan, BOSF also runs a 1,850-hectares Land Rehabilitation Program, Sunbear Sanctuary, and ecolodge to promote ecotourism in the area.

In Central Kalimantan, besides CKORP -NM, BOSF also runs Mawas Conservation Area, a 369,000-hectares of peatland which sustains 3,000 individuals of wild orangutans.

In conducting the effort to save and preserve orangutan and its habitat, BOSF always involves the participation from the community and local government as stake holders to incorporate and reach the common goal.

Kesi Jatuh Cinta

Pusat Rehabilitasi Orangutan selalu punya banyak cerita menarik untuk dikisahkan. Kali ini cerita datang dari Pusat Rehabilitasi Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah. Mengisahkan satu anak orangutan yang terus mencoba belajar menggali kebiasaan alamiahnya, untuk dijadikan bekal kembali ke alam bebas. Masih ingat Kesi, orangutan yang terputus tangannya?

Saat ini Kesi berada di grup 4 sekolah hutan Proyek Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng bersama dengan Duta, Mohito, Teweh dan beberapa orangutan lainnya. Ada sedikit perubahan yang terjadi di sekolah hutan Proyek Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng terutama dalam pembagian grup karena grup sekolah hutan yang dulu terdiri dari 17 grup sekarang hanya terdiri dari 9 grup saja dimana dalam setiap grup terdiri dari 14-20 orangutan. Sebenarnya komposisi jumlah orangutan antara grup yang dulu dan yang sekarang hampir sama saja karena dulu dua grup sekolah hutan dijadikan satu dan ditempatkan di area yang sama dimana jumlah orangutan dalam dua grup yang disatukan tersebut hampir sama dengan jumlah orangutan yang ada dalam satu grup sekarang. Adapun perubahan jumlah grup ini hanya untuk mempermudah teknisi dan baby sitter mengenali dan mengelompokkan orangutan-orangutan yang saat ini berada di sekolah hutan. Dan perubahan ini menyebabkan Kesi yang dulu berada di grup 7-8 sekarang berada di grup 4.

Sekarang Kesi sedang jatuh cinta dengan Pundu, Pundu adalah orangutan yang berada di grup 9. Walaupun letak grup 4 cukup jauh dari grup 9, Pundu dan Kesi sering bertemu di grup lain karena mereka berdua sering melarikan diri dari grupnya. Jika Kesi berada di dekat Pundu tidak ada baby sitter atau teknisi yang boleh mendekati Kesi. Hanya Pundu yang boleh dekat dengan Kesi. Jika ada yang mendekati Kesi, Pundu akan langsung mengusirnya.  Setiap bertemu dengan Kesi, Pundu akan langsung menyambut kedatangan Kesi walaupun pada saat itu Pundu sedang makan ataupun melakukan aktifitas lain. Seperti yang terjadi pada saat Pundu sedang bermain di grup 3 dan kebetulan Kesi juga berkunjung ke grup 3. Begitu Pundu melihat Kesi yang sedang bergelantungan di atas pohon sambil mendekati orangutan-orangutan di grup 3 Pundu langsung menyambut Kesi dan naik ke atas pohon tempat Kesi berada. Di pohon itu Pundu mengajak Kesi bermain tapi ternyata Kesi cepat bosan bermain di atas pohon. Kesi kemudian turun dan mencari makanan yang ada di atas tanah dan Pundu dengan setia mengikuti kemanapun Kesi pergi.

Kesi hanyalah satu dari sekian banyak kisah tentang orangutan yang mencoba kembali menemukan nalurinya untuk menuju kebebasan. Kebebasan Kesi dan teman-teman di pusat rehabilitasi tidak akan terwujud tanpa uluran tangan kita semua, kerabat terdekatnya.

ORANGUTAN RELEASE IS JUST A STEP AWAY

The government of the Republic of Indonesia as the rightful owner of orangutan and its habitat was expected to immediately provide forest areas to release orangutans now being rehabilitated in centers at Central and East Kalimantan. The number of rehabilitated orangutans have reached thousands and most of them have been under rehabilitation for too long. The government has recognised the issue and through Boen Purnama, the General Secretary of Ministry of Forestry, promised to accelerate the process in granting permits for ex-production forest to be restored and used as the orangutan release area. This is in line with the national Strategy on Orangutan Conservation which established that in the year of 2015, all rehabilitated orangutans must be released back to their natural habitat.

The good news for orangutan conservationists was revealed during the International Workshop on Orangutan Conservation which held by Forina and OCSP at Sanur, Bali, on 15-16 July 2010. The international workshop was participated by no less than 20 institutions representing all the stakeholders in conservation of orangutan and its habitat. Besides the government and non-govermental organisations, representatives from the communities and private sectors were also present. One of the biggest palm oil company in Indonesia even took part of the exhibition session which was a part of the 2 days international workshop.

In his opening speech, Profesor Bungaran Saragih emphasized the importance of accelerating orangutan release, considering the decreasing number of primary forest ideal for orangutan habitat. BOS Foundation this year tried to obtain definitive permit of managing a 86,450-hectare forest area in East Kalimantan as release site for rehabilitated orangutans. This effort certainly needs full support from every parties involved, considering the facts that only part of that huge area is ideal for orangutan habitat. Several important elements establish whether a certain area could become ideal habitat for orangutan, such as altitude, vegetation diversity, and availability of natural diet.

Currently there are around 1,200 orangutan are in rehabilitation centers at Sumatera and Kalimantan. IUCN (International Union for Conservation of Nature), an organisation responsible of determining wildlife status around the world, stated that ex-rehabilitated orangutans are not to be released in to an area with wild orangutan population, for it would create unexpected competition.

In the other hand, however, numbers of orangutan experts warned about the importance of having a long-term-post-release monitoring. All this time, due to lack of mid and long-term monitoring, the conditions of the released orangutans are not fully understood, whereas this is an important parameter for a succesful orangutan release. To find the right method for mid and long-term monitoring is the most important task to finish before we release too many orangutans back to the wild.

(NH)